LAMPUKUNING.ID– Seperti yang dilansir Fajar Indonesia Network,Penghargaan Academy Awards akan digelar nanti malam. Sesuai tradisi, deretan selebritis akan berjalan melewati karpet merah yang biasa disebut “red carpet”, simbol dari kemewahan dan glamornya Hollywood.
Time pada Jumat (22/2) mengulas asal usul digunakannya “red carpet” di ajang-ajang penghargaan Hollywood.
Sebuah bait dalam drama “Agamemnon” karya penulis Yunani Aeschylus , 458 SM, adalah referensi pertama tentang praktik glamor menggelar karpet merah.
Bait itu memposisikan karpet merah sebagai sarana untuk mengangkut bangsawan dari kereta kencana ke rumah.
“Sekarang kekasihku, turunlah dari keretamu, dan jangan biarkan kakimu, tuanku, menyentuh Bumi,” demikian lakon itu berbunyi. “Para pelayan, bentangkan di depan rumah sesuatu yang dia tidak pernah duga untuk akan dilihat … jalan merah tua.”
Hal ini tidak terdengar berbeda dari visi mengangkut para bintang dari limusin ke teater, tetapi karpet merah tidak memainkan peran dalam budaya Yunani kontemporer, menurut Gregory Crane, seorang profesor klasik di Universitas Tufts.
Orang-orang Yunani bukan satu-satunya yang memuja warna merah sebagai sesuatu yang melambangkan kerajaan. Merah telah menjadi warna kerajaan selama berabad-abad, menurut Jeanne Gutierrez dari New York Historical Society.
Pada akhir tahun 1200-an, Paus memutuskan bahwa hanya kardinal, orang-orang berpangkat paling tinggi dari gereja Katolik, yang bisa mengenakan warna merah.
Asosiasi warna merah dengan kemewahan dan kerajaan memiliki satu alasan praktis, pada intinya: mahalnya harga pewarna merah sebelum Revolusi Industri abad ke-19.
“Sebelum penemuan pewarna sintetis,” kata Gutierrez menjelaskan, “merah adalah stok pewarna yang sangat sulit dan mahal, sehingga tekstil merah sangat mahal, dan mereka merupakan pertanda status yang sangat tinggi karena hanya sejumlah orang yang dapat mampu memakainya.”
Faktanya, pada industri sutra Italia abad ke-15, baik Venesia maupun Florence mengeluarkan undang-undang untuk mencegah penjual menipu pelanggan dengan cara menggunakan pewarna yang lebih murah alih-alih kain yang lebih mahal.
Bukan hanya kain yang mahal. Warna merah juga memiliki konotasi keagamaan, dan telah lama melambangkan kesyahidan dan pengorbanan di gereja Katolik, kata Gutierrez.
Harga pewarna merah mulai turun pada abad ke-16 setelah Spanyol menaklukkan apa yang sekarang menjadi Amerika Tengah dan Selatan.
Orang Spanyol membuat pewarna merah –dibuat dengan menghancurkan serangga cochineal betina — dan menjualnya ke seluruh Eropa.
“Akhirnya, itu menjadi komoditas yang sangat berharga sehingga pesaing mulai masuk ke pasar,” kata Gutierrez. Kekuatan kolonial lainnya mulai membiakkan serangga ini untuk menjual pewarna.
Setelah pewarna merah mudah diperoleh, karpetnya masih mahal karena perlu ditenun dengan tangan.
Tetapi kemudian muncul Revolusi Industri dan inovasi-inovasinya, yang meliputi pewarna kimia sintetis dan tenun karpet otomatis.
Tiba-tiba, pada pertengahan 1800-an, Anda tidak perlu menjadi bagian dari kelas sosial elit untuk membeli kain merah.
“Mereka menjadi semakin mudah diakses oleh orang awam,” kata Gutierrez.
Karpet merah sudah dipandang sebagai sesuatu yang hanya untuk orang kaya, tetapi sekarang, siapa pun bisa pergi membelinya.
“Pelayanan red carpet”
Istilah “pelayanan red carpet” ternyata bukan berasal dari Hollywood tapi dari stasiun kereta.
Kereta api ikonik 20th Century Limited Express di New York Central Railroad, yang beroperasi dari 1902 hingga 1967, dapat membawa orang-orang dari New York ke Chicago berjam-jam lebih cepat daripada kereta sebelumnya.
Iklan kereta itu mengatakan kecepatan sebagai ukuran dari kelas dan kebangsawanan, maka karpet merah digelar di di Grand Central Station untuk menyambut para penumpang yang menuju ke kereta tersebut.
Iklan menambahkan frasa “pelayanan red carpet” ke dalam bahasa keseharian sehingga semakin membentuk narasi karpet merah itu sendiri, menurut Gutierrez.
Segera setelah penggunaan karpet merah di stasiun kereta, popularitasnya sampai ke New York dari California.
Pemilik teater legendaris Sid Grauman membawa kebiasaan itu ke Hollywood untuk pemutaran perdana Robin Hood tahun 1922 di Teater Mesir.
Douglas Fairbanks, bintang film dan “raja pertama Hollywood,” adalah salah satu bintang pertama yang berjalan di karpet merah ketika ia tiba di pemutaran perdana.
Academy of Motion Picture Arts & Sciences kemudian mengadopsi tradisi untuk Academy Awards pada tahun 1961, ketika karpet merah pra-upacara pertama kali disiarkan di televisi.
Tetapi baru pada tahun 1964, ketika teknologi televisi jadi berwarna, seluruh warga di negara tersebut dapat melihat semburat merah di bawah kaki bintang-bintang.
“Ini dapat diakses oleh khalayak luas setelah disiarkan di TV,” jelas Gutierrez.
Karpet merah seperti yang kita kenal – jalan untuk bintang-bintang – telah berevolusi selama berabad-abad.
“Bintang film,” kata Gutierrez, “adalah semacam bangsawan zaman modern.(*/fin)