Petani Sawit Minta Penyetaraan Harga TBS

Segera Cabut Kebijakan Larangan Ekspor CPO

LAMPUKUNING.ID, JAMBI– Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Jambi, Kasriwandi mengatakan, demo yang dilakukan oleh petani sawit dari Sabang-Marauke ini menuntut beberapa perubahan kebijakan. Salah satunya adalah agar pemerintah pusat mencabut larangan ekspor Crude Palm Oil (CPO).

“Akibat larangan ekspor CPO lewat payung hukum Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil,

mengakibatkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak laku. Bukan jatuh lagi harganya, tapi tidak laku,” kata Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Jambi, Kasriwandi saat dihubungi Jambi One, Selasa (17/5).

Dia menambahkan, para petani sawit sangat terkena imbas dari larangan ekspor CPO tersebut.

“Kalau sawit tidak laku, kami tidak makan, anak petani tidak sekolah, biaya hidup pakai apa? Belum satu bulan kebijakan itu diberlakukan, kami sudah tidak bisa hidup, sudah tidak bisa menahan.

Maka demo ini sebagai upaya untuk menuntut keadilan. Karena kebijakan itu ada di pusat, maka hari ini seluruh petani sawit dari Papua-Aceh sepakat melakukan demo di Jakarta,” katanya.

Selain menuntut pencabutan larangan ekspor CPO, para petani sawit juga meminta agar pemerintah merevisi  Permentan Nomor 01 yang mengatur tataniaga TBS petani itu, hanya berlaku bagi petani yang bermitra.

“Artinya itu petani plasma atau pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA). Itu hanya tinggal sebagian kecil, sudah banyak yang dilakukan replanting (peremajaan).

Sementara untuk  petani swadaya, perjanjian kontrak jual beli itu, yang ditandatangani oleh penjual dan pembeli (pabrik kelapa sawit), itu harga tidak berlaku.

Dianggap petani swadaya itu tidak bermitra, harga sepihak. Itu sudah puluhan tahun harga sawit itu terjadi disparitas harga, Rp400 sampai Rp800 per kilogram.

Padahal kualitas sawit dari petani swadaya ini lebih bagus daripada plasma. Harusnya yang membedakan harga TBS itu adalah kualitas buah petani. Mulai dari umur tanaman, dan bibit yang digunakan,” katanya.

Selanjutnya, petani juga menuntut pabrik kelapa sawit (PKS) untuk mempedomani atura yang ada, dan pemerintah mengawasi kebijakan tersebut, dengan perangkat yang dimilikinya.

“Itu ada pembiaran, ada PKS yang menzolimi harga TBS petani. Sudah berulang-ulang disampaikan, tapi tidak ada tindakan, itu yang kami minta. Tapi yang paling cepat kami minta, larangan ekspor CPO segera dicabut. Kalau tidak dicabut kami tidak akan pulang, kita akan aksi terus,” katanya.

Kasriwandi juga menceritakan, saat ini banyak PKS yang tidak mau menerima buah dari petani. Sebanyak 80 persen petani sawit di Jambi memilih untuk tidak panen, karena harga sawit yang tidak sesuai (tidak laku). “Adapun harga, dipanen hari ini, lalu sore dimuat, masuk besok pagi, itu paling cepat tiga hari baru dibongkar.

Sehingga TBS sudah rusak, karena berhimpit-himpit selama berhari-hari. Dianggap sudah rusak, karena sudah busuk. Itu yang terjadi, padahal bukan salah petani. Alasannya perusahaan tidak terima buah, makanya dibuat seperti itu, menumpuk dipabrik,” pungkasnya. (LK07)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *