Presiden Serahkan SK Hutan Adat Sarolangun

Hari ini, pengelola hutan adat dari Sarolangun bertolak ke Jakarta untuk menerima Surat Penetapan Hutan Adat dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara yang direncanakan diberikan besok (19/9) di istana negara.

Para Pengelola Hutan Adat ini diantaranya berasal dari Pengelola Hutan Adat Desa Meribung, yang akan menerima SK nomor 5775/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.1/9/2018 seluas 617 ha, Hutan Adat Penghulu Lareh Desa Temalang SK 5774/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.1/9/2018 seluas 240 ha.

Selanjutnya adalah Hutan Adat Rio Peniti Lubuk Bedorong dengan SK SK 5776/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.1/9/2018 seluas 240 ha, Hutan Adat Imbo Pseko Desa Napal Melintang dengan SK SK 5773/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.1/9/2018 seluas 83 ha. Ada juga Hutan Adat Datuk Mantari Sakti Desa Mersip dengan SK SK 5772/MENLHK-PSKL/PKTHA/PS.1/9/2018 seluas 78 ha.

Para pengelola ini akan bergabung dengan pengelola hutan adat lainnya dari Kerinci, Bungo dan Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Total ada 6.032,50 ha kawasan Hutan Adat yang di tetapkan oleh Kementrian LHK dari 16 kelompok pengelola.

“Warsi mengapresiasi langkah pemerintah dalam proses penetapan hutan adat. Penyerahan SK HA oleh presiden merupakan bentuk komitmen serius pemerintah terhadap pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat,” kata Wakil Direktur WARSI, Adi Junedi.

Hanya saja menurut Adi Junedi, penetapan Hutan Adat untuk dikelola masyarakat ini, harusnya bisa jadi lebih dipercepat lagi, sehingga bisa berperan dalam reformis agraria dan perhutanan sosial, sekaligus menyelesaikan berbagai sengkarut pengelolaan kawasan.

“Hanya saja, sejak tahun 2016 lalu penetapan hutan adat mayoritas masih berada di areal penggunaan lain, artinya memang kawasan yang kewenangan pengelolaannya ada di masyarakat, bukan dalam kawasan hutan. Sehingga penetapan hutan adat ini masih belum optimal menjadi instrumen resolusi konflik pengelolaan hutan,” sebut Adi Junedi.

Selain itu, dalam pengamatan Warsi, masyarakat sudah sangat fokus dalam mengelola hutannya. Harusnya jika mengacu pada Permen LHK LHK 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan termasuk memberikan kompensasi kepada masyarakat yang mengelola kawasannya dengan tujuan konservasi.

“Yang berjalan selama ini, proses pembinaan pada level pasca penetapan hutan adat juga belum terlalu kuat,” kata Adi Junedi.

Untuk semua kawasan hutan adat dan imbo larangan yang ditetapkan di Sarolangun khususnya Bukit Bulan semuanya berfungsi konservasi oleh masyarakat setempat yang digunakan sebagai perlindungan hulu sungai dan perlindungan ekosistem.

“Semoga dengan bertemu langsung dengan Presiden, upaya warga yang memelihara dan melindungi hutannya mendapat apresiasi lebih baik, sehingga manfaat pengelolaan hutan juga bisa dirasakan dan meningkatkan kesejahteraan warga,” kata Adi Junedi.

Abdul Hamid Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam Hutan Desa Meribung menjelaskan hutan adat yang dikukuhkan entri merupakan warisan dari jaman nenek moyang yang memang dilindungi penggunaannya. “Dulunyo Rimo larangan, yang benar-benar kami lindungi, kegunaannya karena ada sumber mata air yang ada di dalam rimbo larang tersebut itu,”kata Hamid.

Dijelaskannya selama ini masyarakat sudah bersepakat untuk melindungi kawasan hutan tersebut yang sejak 2010 telah di SK-kan oleh Bupati Sarolangun dan kini diperkuat dengan SK Menteri LHK.

“Bagi kami di SK-kan mentri ini memperkuat kami untuk melindungi kawasan ini, karena memang itu hutan yang terlarang untuk di buka, kami warga masyarakat memang bersepakat untuk melindungi namun dari daerah lain masih ada saja yang mencoba untuk memasuki dan melakukan kegiatan yang merugikan hutan kami,” kata Abdul Hamid.

Hal senada juga diungkapkan oleh Zawawi Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Hutan yang membawahi Hutan Adat Desa Lubuk Bedorong. Secara geografis dewa lubuk bedorong berbatas punggung bukit dengan kecamatan tetangganya.

“Ada alat berat yang mencoba masuk ke dalam kawasan dan menambang emas dalam kawasan hutan desa yang letaknya bersebelahan dengan hutan adat kami yang dapat SK dari Mentri ini,”kata Zawawi.

Zawawi menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai aturan yang sangat tegas untuk mengelola hutannya. Hutan desa hanya dimanfaatkan hasil hutan berupa bambu, rotan mau dan hasil hutan bukan kayu lainnya yang memang banyak di hutan desa.

Sedangkan di hutan adat boleh dimanfaatkan untuk pengambil kayu jika diperlukan untuk membangun rumah warga masyarakat, itupun setelah ada keputusan adat yang diambil secara bersama-sama.

Sementara itu Kodri Ketua Pengelola Sumber Daya Hutan Napal Melintang menyebutkan hutan adat dan hutan desa yang dikelola masyarakat desa ini, memang sejak dulunya dimanfaatkan airnya untuk irigasi dan juga untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro.

Desa paling ujung di Kabupaten Sarolangun yang berbatasan dengan Sumatera Selatan itu, hingga kini memang masih belum mendapat aliran listrik negara. “Kami memanfaatkan sumber daya yang ada untuk penerangan,” kata Kodri.

Dari PLTMH yang dibangun sejak 2007 itu, airnya bersumber dari hutan desa dan hutan adat mampu menerangi 187 rumah tangga di desa ini.

“Karena kami manfaatnya sangat besar ya kami jaga dengan baik. Pernah ada dari Provinsi tetangga yang kedapatan membuka ladang ke dalam kawasan hutan adat kami, bersama kepala desa saya cari orangnya, kami jelaskan tentang hutan adat dan aturan pengelolaannya, mereka memahaminya dan kemudian dikenakan denda adat berupa kambing satu ekor selemas semanis, beras 100 gantang dan uang Rp 2 juta, waktu pembayarannya diuangkan semua menjadi Rp 5 juta. Mereka bayar dan uangnya dimasukkan ke dalam kas pengelola hutan,”kata Kodri.

Masing-masing kelompok pengelola hutan adat memang sudah bersepakat untuk mengelola kawasan dengan aturan adat yang disepakati oleh semua warga dan juga akan ada denda yang dikenakan bila ada pelanggaran terhadap ketentuan adat.

“Boleh mengambil kayu hanya maksimal 5 kubik dalam setahun dan itupun hanya untuk pembangunan rumah warga dan fasilitas desa, tidak untuk diperjual belikan. Begitu kami mengatur hutan adat kami. Kami bersyukur dengan dikukuhkan oleh Mentri dengan SK yang diserahkan Presiden, maka semangat kami untuk menjaga hutan adat kami bertambah,” kata Kodri. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *