Ini Regulasi Baru Ekspor CPO

Buah Sawit

LAMPUKUNING.ID – Setelah sempat disetop sejak November 2018 lalu karena harga ekspor minyak sawit atau crude palm oil (CPO) turun, pemerintah kembali akan memberlakukan pungutan ekspor CPO.

Besaran tarif pungutan CPO nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang baru. Di dalam aturan tersebut ekspor CPO berdasarkan harga referensi 570 dolar AS, yakni sesuai PMK No. 152 tahun 2018.

Bacaan Lainnya

“Yang dicarikan mekanismenya yang lebih representatif terhadap harga yang aktual. Tidak satu bulan sebelumnya sehingga tadi makanya mekanisme PMK untuk pungutan itu akan beda,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan.

Harga referensi untuk pungutan ekspor ini, kata Oke, akan berbeda dari sebelumnya. Salah satu isi pasal PMK itu, menyebutkan apabila harga berada di bawah 570 per Metrik Ton (MT), maka akan dibebaskan dari biaya ekspor.

Sedangkan, lanjut Oke, jika harga di rentang 570-619 dolar AS/MT, maka pungutan ekspor menjadi 25 dolar AS/MT. Selanjutnya bila harga CPO sudah kembali di atas 619/MT maka besaran pungutan sawit kembali ke lvel 50 dolar AS/MT.

“Sekarang tidak lagi tergantung harga referensi yang ditetapkan Permendag, karena haga Permendag itu sebulan sebelumnya,” ucap Oke.

Sementara pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri mengatakan, pungutan yang sempat dihentikan untuk mendorong ekspor CPO kembali kompetitif.

“Pungutan sempat ditiadakan memang untuk mendorong ekspor minyak sawit agar kompetitif di pasar tujuan utama kita,” ujar Heri kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Kamis (7/3).

Heri melanjutkan, jika harga kelapa sawit sudah kembali naik maka seharusnya pemerintah harus segera mengenakan pungutan lagi.

“Iya, seharusnya jika harga kembali merangkak naik, perlu dikenakan pungutan lagi,” ucap Heri.

Menurut Heri, pungutan semakin ke hulu harus lebih besar dari semakin ke hilir, dan juga harus memfasilitasi ekspor untuk produk-produk dari hilir.

“Fasilitasi yang dimaksud adalah misalkan dibantu berdiplomasi ke pasar-pasar ekspor, supaya bisa masuk dan tidak kena bea masuk di sana. Kemudian pembiyaan yang terkait ekspor,” tutur Heri. “Intinya perlu mendorong hilirisasi sawit yang bernilai tambah tinggi,” imbuh Heri.(*)

 

Sumber: Fajar Indonesia Network (FIN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *