Sriwijaya diakui sebagai kerajaan maritim terbesar di Nusantara. Namun ia justru mendapat ancaman dari dalam.
Oleh Risa Herdahita Putri
Kesuksesan Sriwijaya memperluas pengaruhnya tidak diraih dengan mudah. Penguasanya harus banyak melancarkan pertempuran melawan pemberontak dari lingkungan internal.
Lewat prasasti, filolog asal Belanda, J.G. de Casparis menganalisis ancaman-ancaman itu bahkan terjadi kala kebijakan ekspansi Sriwijaya sedang getol-getolnya. Itu sekira pada masa awal berdiri, akhir abad ke-7 M.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia mengatakan, kekuatan Sriwijaya terlihat dari daerah-daerah yang mengakui kedaulatannya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. Mereka kemudian berdiri sebagai mandala bagi Sriwijaya.
“Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie.
Untuk mempertahankan hegemoninya itu, Sriwijaya mengeluarkan enam prasasti kutukan. Paling tidak itu yang sampai saat ini sudah ditemukan. Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Pun ada lebih dari 25 prasasti Jayasiddhayatra, yang memuat perjalanan suci menaklukkan daerah-daerah sekitar.
Namun, Sriwijaya tampaknya masih harus berbagi otoritas dengan para datu. Itu baik para datu lokal yang mendiami daerah di sekitar Kedatuan Sriwijaya, maupun datupangeran di daerah mandala-mandala luar.
Hermann Kulke, sejarawan Jerman, di Kedatuan Sriwijaya menulis bahwa telah terbukti kalau kontrol Sriwijaya terhadap mandala-mandala-nya tetap rawan selama berabad-abad. Sriwijaya tak pernah berhasil, atau bahkan berusaha, untuk menganeksasi sepenuhnyamandala-mandala itu.
Semua mandala tampaknya mampu mempertahankan otonomi mereka sebagai replika kecil Sriwjaya. Itu lengkap dengan struktur vanua(satuan beberapa desa dan lahannya) dan samaryyada (satuan yang terdiri dari beberapa vanua). Bedanya, Sriwijaya punya pusat urban yang besar, staf administrasi, dan balatentara yang kuat, juga hubungan dagang internasional.
Setidaknya, ada dua bahaya yang mengintai keutuhan KedatuanSriwijaya terutama terkait dengan kebijakan ekspansi yang dianut pemerintahan itu.
Pertama, para anggota keluarga raja Sriwijaya yang muncul menjadi datuyang kuat di mandala-mandalamenciptakan ancaman langsung terhadap sang datu Sriwijaya di pusat. Pasalnya, kedudukan mereka menjadi hampir sekuat kedudukan datu Sriwijaya.
Kedua, bahaya berupa perlawanan di dalam kawasan-kawasan yang diserangnya. Kemungkinan besar, kata Kulke, prasasti-prasasti mandala yang isinya kurang lebih identik, yang ditemukan di daerah-daerah luaran berfungsi untuk mengatasi perlawanan lokal di dalam mandala-mandala itu.
“Prasasti-prasasti itu dengan jelas mengatakan ‘orang di segenap wilayah bhumi kekuasaan kadatuan-ku yang memberontak’,” jelas Kulke.
Dari pusat Kedatuan Sriwijaya pun ancaman itu ada seperti disebut dalam Prasasti Sabokingking (SKK). Prasasti kutukan paling lengkap memuat nama-nama pejabat pemerintahan itu disebutkan mulai dari putra raja (rājaputra), menteri (kumārāmātya), bupati (bhūpati), panglima (senāpati), pembesar atau tokoh lokal terkemuka (nāyaka), bangsawan (pratyaya), raja bawahan (hāji pratyaya), hakim (dandanayaka), ketua pekerja atau buruh (tuhā an vatak = vuruh), pengawas pekerja rendah (addhyāksi nījavarna), ahli senjata (vāsīkarana), tentara (cātabhata), pejabat pengelola (adhikarana), karyawan toko (kāyastha), pengrajin (sthāpaka), kapten kapal (puhāvam), peniaga (vaniyāga), pelayan raja (marsī hāji), dan budak raja (hulun hāji).
Casparis pernah menulis dalam Prasasti Indonesia, orang-orang yang disebut pada prasasti itu adalah orang-orang yang dikategorikan berbahaya dan berpotensi melawan Kedatuan Sriwijaya. Mereka itu perlu disumpah.
“Maksud Prasasti SKK adalah memberikan ancaman sebesar-besarnya kepada semua lawan, dan bukan melegitimasi klaim Sriwijaya untuk memerintah mereka,” kata Kulke.
Menurut Kulke, sebagaimana yang tertulis dalam prasasti, orang-orang berbahaya di imperium ini bukan saja para pangeran dan komandan tentara yang dapat menggalang pemberontakan ketika mereka jauh dari pusat. Tetapi juga sejumlah abdi rendahan yang mudah menjangkau raja, seperti juru tulis, tukang cuci, budak, pelaut, dan pedagang bisa sangat berbahaya.
“Karena mereka menjalin hubungan dengan kekuatan asing. Disebutnya secara khusus kelompok-kelompok terakhir ini pas sekali dengan kekuatan bahari dan niaga Sriwijaya,” lanjut Kulke.
Dengan struktur politik begitu, sekali Sriwijaya kehilangan keunggulan dalam mengontrol sejumlah pos penting di pelosok, ia kehilangan posisinya sebagai primus inter paresdi antara mandala dan para datu-nya. “Sriwijaya pada gilirannya mungkin menjadi sebuah mandaladari salah satu bekas mandala-nya,” kata Kulke.
Namun, itu bukan berarti akhir sebuah negara bernama Sriwijaya. Bukan pula berarti jatuhnya kadatuan dan vanua-nya yang, menurut Kulke, berada di Palembang masa kini. Seiring perjalanan waktu, Sriwijaya mungkin kembali menjadi penguasa dalam perjuangan kekuasaan yang berlangsung terus-menerus.
Sumbet : historia.id