Tak Mengatur Bencana Nonalam dan Teknologi, UU Pemilu Perlu Direvisi

LAMPUKUNING.ID-Pemilu dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap digelar pada 2024. Hal ini sesuai UU Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016. Pemilu rencananya digelar 21 Februari 2024. Sementara Pilkada 27 November 2024. Perlu dilakukan revisi dalam kondisi Pandemi COVID-19.

Bacaan Lainnya

KPU dijadwalkan memulai tahapan 25 bulan sebelum hari pemungutan suara untuk Pemilu 2024. Sedangkan untuk Pilkada Serentak 2024 adalah 20 bulan sebelumnya hari coblosan.

Berarti sejak awal 2022, tahapan pemilu sudah dimulai. Diperlukan perbaikan atau revisi Undang-Undang Pemilu yang ada saat ini. Ini untuk penyempurnaan landasan hukum regulasi kepemiluan. “Ada kebutuhan objektif untuk memperbaiki regulasi kepemiluan pada tataran undang-undang,” ujar Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Jumat (3/9).

Menurutnya, banyak hal mendesak yang perlu diperbaiki agar pesta demokrasi pada 2024 berjalan baik. Kebutuhan penyempurnaan undang-undang itu berkaca dengan penyelenggaraan Pemilu 2019.

Pada 2019 beban kerja penyelenggara terlalu berat. Sebab, penyelenggaraan pemilu dilakukan serentak. Kondisi tersebut mengakibatkan banyak penyelenggara harus mendapatkan perawatan. Bahkan. banyak yang meninggal dunia karena beban kerja terlalu berat.

“Perlunya merevisi Undang-Undang Pemilu tersebut untuk memberikan kepastian hukum terkait penggunaan teknologi dalam kepemiluan Indonesia,” jelasnya.

Penggunaan teknologi diyakini dapat meringankan beban kerja penyelenggara. Seperti sistem rekapitulasi suara (sirekap) yang akan meringkas beban kerja. Selain itu, durasi yang diperlukan dalam kegiatan rekapitulasi. “Termasuk penggunaan sistem teknologi informasi pendaftaran partai politik,” paparnya.

Tanpa kepastian hukum untuk pemanfaatan teknologi kepemiluan, dikhawatirkan menyebabkan persoalan seperti yang terjadi 2019. “Terlebih, penggunaan teknologi kepemiluan mendapatkan penolakan dari beberapa pihak. Kkarena tidak diatur dalam undang-undang,” imbuh Titi.

Merevisi Undang-Undang Pemilu memberikan kesempatan untuk menambah dasar hukum kepemiluan. Misalnya soal penyelenggaraan dalam kondisi bencana nonalam. Seperti kondisi pandemi COVID-19 saat ini.

“Undang-Undang Pemilu yang ada saat ini belum adaptif terhadap kondisi bencana nonalam. Khususnya pandemi COVID-19. Pandemi tidak bisa dipastikan selesai ketika penyelenggaraan Pemilu 2024. Karena itu, undang-undang perlu mengatur regulasi kepemiluan dengan situasi pandemi,” pungkasnya. (rh/fin)

Sumber : palpos.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *